Social Learning: Amati, Modifikasi, Tiru
Social Learning: Amati, Modifikasi, Tiru
Berbagai Bentuk Social Learning
Social Learning merupakan proses pembelajaran yang kita lakukan dengan cara melihat perilaku orang lain. Tak hanya berhenti pada melihat, setelah kita melihat orang lain, kita kemudian menggunakan pelajaran yang kita dapatkan untuk memperbaiki diri.
Jadi, isinya adalah see, learn, dan apply. Learning sendiri maknanya adalah proses belajar yang dengan sadar dilakukan untuk mengubah ke arah yang lebih bagus dengan menjadikan orang lain sebagai referensi, kaca perbandingan, guru, pembimbing, motivasi, inspirasi, dan seterusnya.
Apa yang perlu kita ubah ke arah yang lebih bagus itu? Kalau tempat kerja konteksnya, yang perlu kita ubah adalah keahlian mental dan keahlian kerja. Yang perlu kita perbaiki adalah tingkat kesalehan, tingkat keahlian (kompetensi kerja) dan tingkat kemampuan berkomunikasi.
Kenapa? Karena itu semua menjadi faktor kunci kemajuan karier kita. Jika seseorang hanya saleh (secara moral saja), namun kompetensi kerjanya rendah, maka kunci yang dimilikinya sedikit. Begitu juga jika yang ia miliki hanya kompetensi kerja saja namun kesalehan moralnya rendah. Jadi, kesalehan, keahlian dan komunikasi adalah tiga hal penting yang selalu butuh ditingkatkan.
Social learning ini bisa kita lakukan untuk mendukung model pembelajaran yang disebut Generative Learning. Generative Learning yaitu proses pembelajaran yang kita lakukan untuk mendapatkan atau mewujudkan apa yang kita inginkan (visi, tujuan, obyektif, target, dll). Misalnya kita ingin meningkatkan kemampuan berkomunikasi, kalau yang kita lakukan itu hanya membaca buku tentang komunikasi, mengikuti training tentang komunikasi atau melanjutkan kuliah di bidang komunikasi, tentu ini baik atau sudah baik. Namun akan lebih bagus lagi kalau ditambah dengan melihat langsung orang yang secara kemampuan berkomunikasi lebih kompeten dari kita lalu kita pelajari dan kita terapkan ke dalam diri kita.
Dalam prakteknya, social learning ini jauh lebih cepat memberikan hasil yang riil, terutama bagi orang dewasa. Menurut teori learning-nya, orang dewasa akan belajar dengan bagus apabila materi yang dipelajarinya itu relevan dengan praktek hidupnya dan materinya itu kongkrit, bukan konsep yang abstrak dan tidak mengharuskan kita menghafal. Sebuah studi yang dilakuan oleh NFIBI (National Federation of Independent Business, 1990, Washington) membuktikan bahwa para pengusaha yang ditelitinya mendapatkan ide-ide tentang usaha dari para seniornya. Mereka mendapatkan ide usaha dari mantan bosnya atau mantan pimpinannya.
Social learning ini juga bisa kita gunakan sebagai pendukung atas model learning yang disebut adaptative learning. Adaptative learning ini artinya kita berusaha untuk membebaskan diri dari masalah yang menghimpit, berusaha mengeluarkan solusi atas penderitaan yang kita alami, entah itu penderitaan fisik atau penderitaan batin. Jadi kalau kita ingin berubah ke arah yang lebih bagus sebagai reaksi atas penderitaan yang kita alami atau sebagai bentuk perlawanan atas persoalan yang kita hadapi, maka yang kita lakukan adalah adaptative learning. Untuk melakukan proses adaptative learning ini biasanya kita perlu melihat orang lain, bertanya kepada orang lain tentang apa saja yang ia lakukan ketika ia menghadapi persoalan seperti yang kita alami, dan lain-lain.
Ketika kita mendapatkan jurus-jurus jitu dari orang lain lalu kita terapkan dan itu ternyata manjur untuk mengatasi persoalan yang kita alami, maka yang kita lakukan adalah social learning.
Konsep pengembangan kompetensi yang dirancang para pakar di bidang ini sangat menekankan pentingnya social learning. Dalam konsep pengembangan kompetensi, ada empat hal yang disarankan untuk meningkatkan kompetensi seseorang, yaitu:
- Adult experiential education, pendidikan berbasis pengalaman
- Motivation acquisition, peningkatan motivasi kerja dan motivasi belajar
- social learning
- self-directed change, pengembangan diri secara terarah
Ajaran agama pun sama. Kita diperintahkan untuk melihat prilaku orang lain, entah itu yang benar atau yang salah, dan juga diperintahkan untuk mempelajari akibat-akibatnya. Ini dimaksudkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari prilaku orang lain itu supaya langkah kita lebih bagus atau terhindar dari penderitaan.
Sosial Learning ini pada dasarnya bisa kita praktekkan secara langsung atau tidak langsung. Maksudnya, orang yang bisa kita ambil pelajarannya itu tidak harus orang yang secara fisik ada di sekeliling kita. Orang yang wajahnya hanya kita kenal melalui media massa atau berada di tempat yang secara fisik berjauhan dengan kita, itupun bisa.
Hambatan Mental
Meskipun semua orang bisa melakukan social learning ini, tetapi pada prakteknya hanya sedikit orang yang melakukannya dengan kesadaran tinggi. Kenapa ini bisa terjadi? Karena ada sejumlah hambatan mental yang di antaranya adalah:
1. Lemahnya dorongan untuk berubah
Dorongan untuk berubah di sini menjadi kunci. Learning, training, atau berbagai bentuk pendidikan telah dibuktikan tidak mampu memberikan efek positif yang signifikan pada diri seseorang yang lemah dorongannya untuk berubah.
Ketika kita tidak memiliki dorongan untuk berubah, maka siapa pun yang ada di sekitar kita, kemungkinan besar tidak kita jadikan sebagai materi yang akan kita pelajari untuk memperbaiki diri. Learning adalah make sense atau memaknai peristiwa, memaknai keberadaan orang lain, memaknai resources yang ada atau memaknai apa saja yang ada di sekitar kita untuk perbaikan diri.
Sebetulnya, kalau berbicara soal dorongan untuk berubah, semua orang memilikinya. Yang membedakannya adalah kekuatan dari dorongan itu. Ada orang yang memiliki kualitas dorongan hanya pada level mulut. Artinya, keinginan untuk berubah itu hanya sebatas harapan atau angan-angan. Ada juga yang dorongannya hanya sebatas reaktif yang sifatnya sementara. Tapi ada juga yang kualitas dorongannya benar-benar didasari oleh kesadaran mendalam dan dilakukan secara kontinu. Yang paling bagus adalah yang terakhir.
2. Kehilangan perspektif terhadap orang lain
Orang lain itu secara hukum Tuhannya memang sudah dirancang memiliki sisi-sisi negatif dan sisi-sisi positif. Artinya, tidak ada manusia yang sempurna positifnya dan tidak ada pula yang sempurna negatifnya. Yang membedakan orang itu bukan soal apakah punya sisi negatif atau tidak, melainkan seberapa besar kepositifan yang dimiliki dibanding dengan kenegatifannya.
Terlepas dari itu, apapun yang melekat pada diri orang lain itu bisa kita jadikan bahan untuk perbaikan diri. Sisi negatifnya bisa kita jadikan warning, komparasi atau antisipasi. Sedangkan sisi positifnya bisa kita jadikan motivator, inspirator atau referensi. Setiap atasan itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu juga bawahan. Ketika yang kita lihat dari seorang atasan itu hanya kejelekan-kejelekannya, lalu kita jadikan itu sebagai materi kunci dalam ngerumpi, selain hanya akan menambah dosa, pelajaran yang baik pun sulit kita dapatkan.
Dengan kata lain, social learning akan terhambat apabila kita kehilangan perspektif yang fair dalam melihat orang lain. Hilangnya perspektif yang fair ini bisa disebabkan karena nafsu kebencian yang membabi buta atau cinta fanatisme yang membabi buta pula. Karena itu ada petuah bijak yang mengingatkan, jika engkau membenci orang lain, bencilah dengan fair (jangan sampai kehilangan perspektif). Begitu juga, cintailah orang lain itu dengan fair pula (jangan sampai membabi buta).
3. Merasa sudah paling hebat
Syarat agar kita bisa belajar adalah menumbuhkan kesadaran seorang pemula. Kesadaran ini antara lain, haus ilmu, haus pengetahuan, haus pengalaman, membuka pikiran, kemauan yang keras, ketertarikan yang tinggi, dan lain-lain.
Menurut kesimpulan Sydney Harris, ada perbedaan antara gaya hidup seorang pemenang dan pencundang. Sydney Harris menyatakan bahwa para pemenang itu sadar betapa besar kebutuhannya untuk belajar, meskipun dirinya sudah dianggap ahli oleh orang lain. Sebaliknya, para pecundang itu menginginkan agar orang lain menganggap dirinya sebagai orang ahli padahal dirinya belum ahli.
4. Minder
Orang yang minder seringkali gagal atau kesulitan melakukan proses social learning ini. Kenapa? Ini karena mereka melihat orang lain sebagai sosok yang tidak mungkin ia tiru langkah-langkahnya dalam menyelesaikan masalah atau dalam merealisasikan tujuan. Pada saat kita minder, biasanya kita berkesimpulan bahwa masalah yang kita hadapi adalah masalah yang pertama kalinya ada di dunia ini, belum pernah menimpa orang lain, dan lain-lain. Karena itu, keminderan juga bisa menjadi hambatan bagi bagi proses social learning.
5. Kurang memiliki fokus pengembangan diri berdasarkan tahapan-tahapan tertentu
Kenapa fokus ini penting? Alasannya sederhana. Ketika kita tidak memiliki fokus, maka kita pun tidak tahu materi yang penting dan yang tidak. Akibatnya, kita berasumsi bahwa semua orang lain itu tidak penting atau berasumsi bahwa semua orang lain itu penting. Fokus akan menyadarkan kita tentang materi yang kita butuhkan saat ini, materi yang kita butuhkan nanti, dan materi yang belum kita butuhkan saat ini.
Proses Social Learning
Di sejumlah perusahaan nasional memang sudah ada sebagian yang menyadari pentingnya social learning ini. Sebuah perusahaan mengajarkan agar para karyawannya mengamati bagaimana karyawan lain (yang high performer) itu mengerjakan pekerjaan. Setelah mengamati barulah disuruh menerapkan hasil pengamatan itu ke dalam pekerjaanya. Setelah itu, disarankan pula untuk memodifikasi. Jadi, amati (take careful attention), terapkan (apply) dan modifikasi (modify).
RH Dave's model (Anita Leeds, 2005) menyebutkan jika social learning bisa kita lakukan dengan cara-cara di bawah ini:
- Imitasi
- Manipulai
- Reproduksi
- Artikulasi
- Naturalisasi
Imitasi artinya kita mengamati orang lain lalu mencontoh. Manipulasi di sini maksudnya kita menjalankan apa yang diinstruksikan orang lain. Jadi mungkin kita bertanya kepada orang yang ingin kita contoh itu, kemudian kita menjalankan seratus persen apa yang dikatakan orang itu. Reproduksi yang dimaksud adalah kita menerapkan sendiri secara independen pengetahuan atau informasi yang kita dapatkan dari orang itu. Artikulasi yaitu kita sudah bisa mengkombinasikannya dengan beberapa skill yang kita dapatkan dan sudah memiliki penjelasan sendiri tentang apa yang kita praktekkan. Naturalisasi artinya kita sudah bisa mengeluarkan jurus-jurus milik kita secara otomatik.