Hati-Hati, 76% Penculik Anak Adalah Orang Yang Kamu Kenal!
Hati-Hati, 76% Penculik Anak Adalah Orang Yang Kamu Kenal!
Umumnya orang menganggap bahwa penculikan hanya dilakukan oleh orang asing tak dikenal. Akan tetapi jangan salah, seorang ibu atau seorang ayah juga bisa menjadi penculik bagi anak-anak mereka sendiri. Wah kok bisa? Tentu saja bisa.
Ada satu kasus penculikan terhadap anak sendiri. Ceritanya ada pasangan suami istri yang memiliki satu orang anak laki-laki. Karena suatu sebab mereka bercerai. Oleh pengadilan, hak perwalian anak yang dihasilkan dari perkawinan itu diberikan kepada pihak suami. Kemudian masing-masing menikah lagi dan memiliki anak dengan pasangan yang baru.
Sekitar sepuluh tahun berselang, si ibu mengunjungi anak yang sudah duduk di bangku SMP. Sang ibu meminta pada mantan suaminya agar anak tersebut bisa pindah dan tinggal bersama dengannya. Dia menjelaskan bahwa secara ekonomi dia sangat mapan sehingga bakal sanggup menyekolahkan anak itu sampai perguruan tinggi sekalipun. Kebetulan, kondisi ekonomi mantan suaminya pas-pasan. Akan tetapi permintaan itu ditolak oleh si ayah. Pun ketika si ibu menyodorkan dana puluhan juta rupiah agar diizinkan membawa si anak, tetap saja permohonan itu tidak digubris.
Berang karena permintaannya ditolak, si ibu mengambil strategi lain. Diajaknya si anak jalan-jalan. Tapi kemudian motor yang dibawa jalan-jalan dititipkan kepada orang yang dikenal di desa sebelah. Dia membawa anaknya naik bus pergi ke rumahnya yang berbeda pulau. Konon dari selentingan kabar, sampai hampir 10 tahun berselang, sang anak tidak diizinkan menjenguk ayahnya.
Penculikan anak oleh ayah atau ibu sendiri seperti kasus di atas cukup banyak dilakukan. Diperkirakan sekitar 49% kasus penculikan anak di AS merupakan penculikan oleh keluarga sendiri. Biasanya penculikan itu terjadi karena proses perceraian yang tidak mulus sehingga terjadi perebutan hak perwalian atas anak.
Bagaimana dengan di Indonesia? Meskipun kasus perceraian termasuk rendah, ternyata menurut laporan pihak kepolisian, mayoritas kasus penculikan di Indonesia pun dilatarbelakangi rebutan hak atas anak.
Perceraian kadang memang pilihan terbaik bagi masing-masing pasangan. Akan tetapi, tidak jarang anak-anak menjadi korban yang tidak perlu karena egoisme orangtua. Salah satu pihak merasa paling berhak dan paling mampu mengurus anak-anak. Mereka tidak rela jika hak perwalian anak diserahkan kepada pasangan mereka. Oleh sebab itu mereka menculik anak mereka sendiri.
Pada sebagian kasus, pihak yang mendapat hak perwalian anak sangat ketat membatasi interaksi anak dengan mantan pasangannya yang notabene orangtua kandung si anak. Karena sudah kangen berat, akhirnya diculiklah si anak. Tujuannya semata-mata hanya untuk memuaskan kerinduan hati. “Tidak bisa bertemu dengan cara baik-baik, ya diculik!” begitu prinsip sebagian orang yang dipisahkan dari anak-anak mereka.
Besarnya persentase anak yang diculik oleh orangtuanya sendiri mengilhami munculnya lelucon tentang hak perwalian anak. Sebagai selingan, berikut leluconnya.
Ceritanya Budi dan Nita sudah berumah tangga selama 6 tahun lamanya. Dalam perkawinan itu, Nita telah melahirkan 3 orang anak. Tapi rupa-rupanya kisah cinta mereka tidak berjalan mulus. Meskipun anak-anak manis dan lucu menghiasi kehidupan mereka, namun mereka menjadi kerap bertengkar. Mereka saling menyerang pihak lain. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Gugatan cerai pun dilayangkan via pengadilan agama. Akhirnya tibalah sidang perceraian mereka.
“Saya ingin pisah dari barang rongsokan ini,” kata Nita emosional pada hakim.
“Saya juga tidak bisa hidup dengan monster ini,” balas Budi tak kalah emosionalnya.
“Berapa anak kalian?” kata hakim.
“Tiga,” jawab Budi.
“Tunggulah setahun lagi,” kata sang hakim. “Tambahlah satu anak lagi, supaya kalian masing-masing mendapat dua anak.”
“Tapi dengan potensi saya, bisa-bisa kami nanti malah mendapat anak kembar,” protes Budi.
“Apa? kembar?” Nita mencibir. “Kalau saya hanya mengandalkan dia, belum tentu kami bisa punya tiga anak seperti sekarang.”
Budi: “????”
Pihak kerabat lain bisa juga menjadi pelaku penculikan anak. Ada kakek dan nenek yang menculik cucunya sendiri. Ada paman dan bibi yang menculik keponakannya sendiri. Motifnya beragam. Bisa karena ekonomi maupun karena sakit hati, atau yang lainnya. Namun biasanya penculikan oleh pihak keluarga dilatarbelakangi motif pembalasan dendam.
Selain penculikan oleh pihak keluarga, penculikan juga bisa dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban. Misalnya oleh pembantunya sendiri, oleh tukang kebunnya, oleh sopirnya, oleh tetangganya dan sebagainya. Mereka adalah pihak yang tahu persis kebiasaan sang anak dan dikenal anak dengan baik. Secara keseluruhan, sekitar 27% kasus penculikan dilakukan oleh mereka ini. Bandingkan dengan jumlah 24% kasus penculikan yang dilakukan oleh orang asing tak dikenal. Artinya, anak-anak lebih rentan diculik oleh orang yang mereka kenal ketimbang oleh orang asing.
Bagi kamu yang memiliki anak, waspadalah! Para penculik anak berkeliaran di mana-mana. Mereka ternyata bisa siapa saja. Terbukti 76% penculikan anak justru dilakukan oleh orang yang sudah dikenal. Hanya seperempat penculikan yang dilakukan oleh orang asing.
Menculik anak memang pekerjaan kriminal yang menggiurkan. Melakukannya sangat mudah. Risikonya juga kecil. Sudah begitu hasilnya besar.
Akan tetapi ada kabar bagus. Dalam dunia kejahatan, penculikan anak termasuk jenis kejahatan paling menjijikkan. Kelasnya sama rendah dengan perkosaan. Penculikan anak dianggap bukan tindakan pemberani. Hanya mereka yang pengecut, tidak punya nyali dan tidak punya harga diri yang mau melakukannya. Mengancam anak adalah perilaku rendah. Oleh karena itu jangan heran jika kalangan penjahat sendiri yang membocorkan informasi pelaku penculikan kepada pihak kepolisian.
Sudah bukan rahasia lagi jika di penjara ada kasta-kasta. Mereka yang paling rendah kastanya akan menjadi bulan-bulanan kasta yang lebih tinggi dan bakal dieksploitasi habis-habisan. Nah, para penculik anak yang masuk bui akan menduduki kasta paling rendah di penjara. Mereka akan menjadi “karpet” di penjara. Oleh sebab itu penjahat yang betul-betul profesional, biasanya tidak akan terjun dalam kejahatan penculikan anak. “Jangan deh masuk penjara gara-gara perkosa orang, aniaya perempuan atau culik anak. Bakal habis di penjara. Cuma diinjak-injak kita nanti. Neraka betul jadinya” ujar salah seorang penjahat kambuhan yang sering keluar masuk penjara.